Bu Mina sedang hamil tua, ia sedang berjalan
tertatih tatih disebuah
jalan, seraya
selalu
terbebani oleh kandungannya yang
sudah besar, kemanapun ia melangkahkan
kakinya, ia dibebani oleh kandungannya, dijalan,
dirumah, berdiri, duduk bahkan
tidurpun
ia selalu terganggu oleh perutnya, hanya satu harapan yang selalu
menghiburnya siang dan malam, "aku akan mendapatkan seorang
anak yang akan
menjadi kebanggaanku kelak", tak ada seorang ibu yang tidak bercita-cita seperti
ini,
iapun terus bersabar menahan
segala penderitaan yang menimpanya, hingga saat-
saat
melahirkanpun tiba.
Malam itu hujan turun dengan derasnya,
Bu Mina merasakan bahwa kandungannya
akan segera lahir, suaminya,
Imron berlari dikegelapan malam mencari bidan yang
rumahnya agak jauh dan harus ditempuh
dengan berjalan kaki, tiada yang
mendorongnya untuk berlari di derasnya hujan selain keselamatan bayinya, kalau ia
harus melewati
lautan apipun akan ditempuhnya asalkan
bayinya selamat, iapun
sampai dirumah
bidan yang sudah terlelap tidur, ia memaksa
bidan untuk mau
menolong
istrinya, ia rela mengorbankan semua hartanya asalkan bidan mau
menolongnya.
Bidan
itu dengan enggan mengikuti Imron kerumahnya, ia melayani bidan itu lebih dari
pelayanan
seorang ajudan terhadap rajanya, ia memayungi bidan seakan-akan jangan
sampai setetespun air hujan membasahi
tubuh sang bidan, dengan penuh cemas
kalau-kalau sang bidan berubah
pikiran untuk membatalkan niatnya, dibiarkannya
tubuh yang basah kuyup oleh derasnya
hujan, mungkin apabila
air hujan itu berupa
batu
sekalipun ia tak akan memperdulikannya.
Ketika mereka tiba ditujuan,
bidanpun menyiapkan segala sesuatunya sementara
Bu
Mina sudah menjerit jerit menahan sakit. Waktupun berjalan dengan lambatnya, sang
suami bercucuran keringat dingin menunggu
keadaan yang sangat kritis, terlintas
dalam
pikirannya betapa indahnya kalau kepedihan sang istri dipindahkan kepadanya.
Tak lama terdengarlah tangis seorang bayi yang melengking memecah kesunyian
malam yang baru saja reda dari hujan lebat, tak lama bidanpun keluar memeluk
sesosok
bayi mungil yang masih merah,
sementara sang ibu masih tak sadarkan diri,
Imron menangis
sambil memeluk bayi mungilnya, iapun menghadapkan dirinya
kekiblat, lalu mendekatkan mulutnya
ketelinga sang bayi, "Allahu Akbar..
Allahu
Akbar, Allahu Akbar.. Allahu Akbar.., Asyhadu
An Laa Ilaaha Illallah.., Asyhadu
an
Laa Ilaaha Illallah.., Asyhadu anna Muhammadurrasulullah..", ia
mengadzankan
bayinya
sambil bercucuran airmata kegembiraan.
Bayi mungil itu terus diasuh oleh ibunya tanpa mengenal waktu, sang ibu mengatur
segala-galanya demi kesehatan bayinya,
mengatur kapan waktu bayi itu dimandikan,
dengan air yang tak terlalu panas dan tidak pula terlalu
dingin, mengatur waktu agar
bayi
itu terkena matahari dipagi hari, memakaikan pakaiannya, membersihkan
tubuhnya, membedakinya, dan segala-galanya lebih dari perhatiannya pada dirinya
sendiri, dengan penuh kasih sayang. Sepasang
suami istri itu terus mengayomi
anak
mereka
tanpa mengenal bosan, seringkali sang bayi mengganggu tidur mereka, tapi itu
semua tidak mengurangi kasih sayang mereka,
Mereka menuntunnya berbicara,
mengenal
nama-nama benda, menuntunnya berjalan, dan mengajarinya semua
perilaku
kehidupan,
Sang ibu sudah kehilangan waktu untuk merias dirinya, sang ayahpun lupa waktu
dalam bekerja
keras untuk mencukupi
kebutuhan bayinya. Anak merekapun tumbuh
semakin besar, tidaklah sang ayah pergi meninggalkan rumah terkecuali terbayang
canda
anaknya dirumah, Waktupun berjalan dengan singkatnya.
Seorang
lelaki tua terbaring disebuah ranjang, ia tersengal sengal menahan detik-detik
sakratulmaut, disampingnya duduklah seorang pemuda berambut gondrong
dengan
perawakan kusam tanpa cahaya keimanan, pemuda itu tak tahu harus berbuat apa
atas ayahnya
yang sudah di pintu kematiannya, lelaki tua itu hanya memandangi
anaknya tanpa mampu berucap
apa-apa, pikirannya melayang
beberapa puluh tahun
yang
silam, saat ia berlari-lari ditengah derasnya hujan dikegelapan malam, ia
teringat
ketika ia berteriak-teriak mengucapkan salam dirumah sang bidan sambil berharap
sang bidan mau membantunya, ia teringat pada saat ia mencucurkan airmata
kegembiraan dengan memeluk bayi mungilnya, ia teringat tatkala
ia mendekap bayi
mungilnya, lalu mengadzankan sikecil,
lalu menidurkan bayinya
dengan senandung
kasih
sayang.
Kini
bayi mungil itu berubah menjadi pemuda gondrong berwajah kusam dan gelap dari
cahaya
hidayah seakan akan ia ingin berkata.., "Tak kusangka… tak
kusangka.., bayi
mungilku yang dulu kuadzankan dan kutimang akan seperti ini...,
aku tidak
mengharapkan apa-apa
darimu nak.., tapi bantulah ayah yang kini sedang dipintu
kematian", betapa hancur dan pilunya sang ayah yang harus menerima
kepahitan
hidup yang paling pedih..,
menemui kematian dengan meninggalkan anak yang tidak
mengenal keimanan,
elaki tua itupun menemui kematiannya dengan menyedihkan,
dengan
seribu kekecewaan yang terus akan menemaninya dikuburnya.
Pagi
hari itu seorang ibu setengah baya sedang duduk diberanda rumahnya
memandangi
kedatangan seorang pemuda berbaju putih dengan sarung dan peci yang
masih dibasahi
air wudhu sambil membawakan terompah
ibunya dan menaruhnya
dikaki sang ibu, seraya mencium tangan ibunya dan berkata "saya ngaji dulu bu"
lalu
berlari terburu-buru dan hilang dikegelapan malam, tangan sang ibu masih dibasahi
bekas
air wudhu anaknya, ibu itu memandangi
kepergian anaknya sambil termenung,
Segala puji bagimu wahai Allah, aku ridho terhadap
anakku, limpahkan kasih sayang
Mu
atasnya.., tanpa terasa ibu itu mencucurkan
airmata kegembiraan melihat keadaan
anaknya..,
Maka
turunlah limpahan rahmat dari Yang Maha Agung terhadap pemuda itu, terhadap
ibunya dan ayahnya, mereka terus dinaungi
kasih sayang Nya hingga mereka satu
persatu
dipanggil ke hadapan Nya.
Termasuk
sosok anak yang manakah dirimu wahai pembaca....?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar