Minggu, 28 November 2021

MEMAHAMI LARANGAN ISBAL

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم

Dalam memahami dalil shahih itu ada yang langsung bisa difahami tapi ada yang harus kita kumpulkan semua dalil kemudian kita perhatikan apakah terikat latar belakang atau illat lainnya, seperti halnya dalam masalah isbal ini. 

KALAU kita kumpulkan SEMUA DALIL tentang ISBAL maka akan diketahui bahwa LARANGAN ISBAL itu berkaitan DENGAN adat istiadat sebagian masyarakat atau tradisi setempat yang menjadikan ISBAL sebagai ALAT kesombongan. ISBAL di masa itu yg dilakukan oleh orang kaya dan para raja untuk memamerkan kekayaan SEBAGAI TANDA orang berada. 

Bertolak belakang kondisi penduduk setempat waktu itu yang sangat miskin sampai dalam berpakaian hanya mampu membeli SATU pakaian berupa kain atau SARUNG yg di ikat dileher untuk menutup auratnya SEHINGGA CINGKRANG. ITULAH kondisi masyarakat waktu itu, yang tergambar dalam riwayat berikut.

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: نَادَى رَجُلٌ النَّبِيَّ ص فَقَالَ: اَيُصَلّى اَحَدُنَا فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ؟ فَقَالَ: اَوَ كُلُّكُمْ يَجِدُ ثَوْبَيْنِ؟ مسلم 1: 368

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Ada seorang laki-laki memanggil Rasulullah SAW, lalu ia bertanya, "Apakah seseorang dari kami boleh shalat dengan memakai satu kain ?". Maka Rasulullah SAW bersabda, "Apakah masing-masing kalian mesti mempunyai dua kain ?". [HR. Muslim ]

حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ
كَانَ رِجَالٌ يُصَلُّونَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَاقِدِي أُزْرِهِمْ عَلَى أَعْنَاقِهِمْ كَهَيْئَةِ الصِّبْيَانِ وَيُقَالُ لِلنِّسَاءِ لَا تَرْفَعْنَ رُءُوسَكُنَّ حَتَّى يَسْتَوِيَ الرِّجَالُ جُلُوسًا
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Sufyan berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Hazim dari Sahal bin Sa'd berkata, "Kaum laki-laki shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan mengikatkan kain pada leher-leher mereka seperti bayi. Lalu dikatakan kepada kaum wanita: "Janganlah kalian mengangkat kepala kalian hingga para laki-laki telah duduk."
(HR. Bukhari)

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ
لَقَدْ رَأَيْتُ الرِّجَالَ عَاقِدِي أُزُرِهِمْ فِي أَعْنَاقِهِمْ مِثْلَ الصِّبْيَانِ مِنْ ضِيقِ الْأُزُرِ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ لَا تَرْفَعْنَ رُءُوسَكُنَّ حَتَّى يَرْفَعَ الرِّجَالُ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'd dia berkata, "Sungguh aku melihat para lelaki mengikat sarung mereka pada leher mereka seperti anak-anak kecil karena sempitnya sarung di belakang Nabi Shallallahu'alaihiwasallam, maka seseorang berkata, 'Wahai kaum wanita, janganlah kalian mengangkat kepala kalian hingga kaum lelaki mengangkat kepala'." (HR. Muslim)

Sebaliknya ORANG KAYA, PEJABAT atau RAJA pada waktu itu jika punya SIFAT SOMBONG UNTUK memamerkan kekayaan maka dengan cara ISBAL dan menyeretnya biasanya sampai dihentakkan kakinya ketanah untuk memamerkan pakaiannya. 

Gambarannya terlihat dalam hadits berikut:

عَنْ مُحَمَّدٍ وَهُوَ ابْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ
وَرَأَى رَجُلًا يَجُرُّ إِزَارَهُ فَجَعَلَ يَضْرِبُ الْأَرْضَ بِرِجْلِهِ وَهُوَ أَمِيرٌ عَلَى الْبَحْرَيْنِ وَهُوَ يَقُولُ جَاءَ الْأَمِيرُ جَاءَ الْأَمِيرُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى مَنْ يَجُرُّ إِزَارَهُ بَطَرًا

Dari Muhammad yaitu Ibnu Ziyad ia berkata:
“Aku pernah mendengar dari Abu Hurairah, ketika dia melihat seorang lelaki yang menyeret kainnya sambil menghentakkan kakinya ke tanah dan ternyata orang tersebut adalah seorang Raja Bahrain, dia berkata; ‘Amir datang! Amir datang! Rasulullah s.a.w. bersabda: “Allah tidak akan melihat kepada orang yang memanjangkan kainnya karena sombong.” (H.R. Muslim No. 3893)

ITULAH kebiasaan orang kaya atau para raja untuk memamerkan kekayaannya yaitu dengan menyeret pakaiannya dengan metafor dihentakkan kakinya. 

LATAR BELAKANG Seperti itulah akhirnya muncul HADIST HADIST NABI TTG LARANGAN ISBAL, dimana nabi melarang ISBAL karena faktor latar belakang tradisi kesombongan dengan cara isbal dan di sisi lain juga untuk menghormati RAKYAT MISKIN. HANYA orang-orang yang kaya atau berada yg mampu membeli sampai dua kain, sehingga SANGAT mencolok perbedaan antara orang miskin dengan yg kaya. Maka bila diperhatikan semua hadist larangan ISBAL pasti ditujukan dengan redaksi selendang atau sarung tidak ada satupun riwayat pada CELANA yang dipakai para shahabat ketika itu. Karena tidak mungkin orang menyeret celananya untuk kesombongan:

نْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِسْبَالُ فِي الْإِزَارِ وَالْقَمِيصِ وَالْعِمَامَةِ مَنْ جَرَّ مِنْهَا شَيْئًا خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dari Salim bin Abdullah dari Bapaknya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Isbal itu ada pada sarung, baju dan surban. Siapa yang memanjangkan salah satu darinya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya kelak pada hari kiamat." (HR Abu Dawud)

SEHINGGA BISA DIFAHAMI bahwa SEMUA hadist nabi yang melarang isbal secara MUTLAK itu tidak BOLEH DIFAHAMI SECARA MUTLAK tapi sungguh terikat oleh kesombongan. 

KARENA IMAGE MASYARAKAT WAKTU ITU ISBAL ADALAH IDENTIK dengan kesombongan, sehingga hadist hadist tanpa menyebut sombong DIANGGAP masyarakat disitu SUATU KESOMBONGAN.

Seperti halnya zaman sekarang kalau remaja rambutnya disemir merah maka image atau kesan masyarakat mengganggap anak "nakal" PADAHAL BELUM TENTU anak tersebut nakal pada budaya atau masa tertentu. Bahkan di masyarakat Nabi menyemir rambut malah diperintahkan:

إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir (rambut), maka selisilah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nah ternyata rambut disemir (dalam riwayat lain agar diwarnai selain hitam yakni warna merah atau kuning) ketika itu diperintahkan oleh Nabi. Tetapi bila budaya semir rambut tersebut kita tarik ke dalam budaya saat ini tanpa memperhatikan konteks pembicaraan ketika itu, maka kurang tepat diterapkan. Karena amr Nabi ketika itu terkait dengan menyelisihi umat yahudi yang mereka bersinggungan dan terlebih diperlukan bagi orangtua yg memasuki medan perang agar tidak terlihat beruban.

Lihatlah betapa cerdas dan sistematis pendidikan yg hendak diajarkan oleh Rasulullah, beliau menghapus budaya kesombongan ketika itu. 

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الَّذِي يَجُرُّ ثِيَابَةُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata, "Allah tidak akan melihat —pada hari kiamat kelak— kepada orang yang mengenakan pakaiannya karena sombong.''' (HR Muslim)

Tetapi disisi lain beliau memberikan pelajaran bahwa manakala budaya kesombongan itu telah tiada, hukumnya kembali mubah. Maka dari itu karena budaya sombong ini yg hendak dihapus oleh Rasulullah, di lain waktu beliau memberikan taqrir kebolehan atas isbal yg tanpa kesombongan.

عن عبد الله بن عمر رضى الله تعالى عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة فقال أبو بكر إن أحد شقي ثوبي يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنك لست تصنع ذلك خيلاء
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang memanjangkan pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat” . Maka Abu Bakar berkata : “Sesungguhnya salah satu sisi pakaianku selalu turun kecuali jika aku terus menjaganya”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya kamu bukan termasuk orang yang melakukannya untuk kesombongan”  [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

Disamping itu banyak sekali riwayat baik Nabi dan para sahabat tercatat pakaiannya melebihi mata kaki.

Akhirnya banyak para ulama menerapkan KAIDAH yaitu semua hadist yang lafadznya MUTLAK dibawa ke hadist hadist yang lafadznya MUQOYYAD/bersyarat sombong.

Berikut beberapa pendapat Ulama dalam menerapkannkaidaj tersebut:

Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu
Dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih berkata:

قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ

             “Berkata pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah,  dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya: “Bukankah kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab: “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.” (Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mawqi’ Al Islam)

Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu

             Masih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah:

وَقَالَ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ رَحِمَهُمُ اللَّهُ

             Dalam satu riwayat Hambal berkata: “Menjulurnya kain sarung, jika tidak dimaksudkan untuk sombong, maka tidak mengapa. Demikian ini merupakan zhahir perkataan lebih dari satu sahabat-sahabatnya(Imam Ahmad) rahimahumullah.”  (Ibid)

             Disebutkan dalam riwayat lain bahwa Imam Ahmad juga mengharamkan. (Ibid)

             Sementara dalam Kasysyaf Al Qina’ disebutkan:

قَالَ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ ، وَإِسْبَالُ الرِّدَاءِ فِي الصَّلَاةِ ، إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ ( مَا لَمْ يُرِدْ التَّدْلِيسَ عَلَى النِّسَاءِ ) فَإِنَّهُ مِنْ الْفُحْشِ .

`           “Berkata Imam Ahmad dalam riwayat Hambal: Menjulurkan kain sarung, dan memanjangkan selendang (sorban) di dalam shalat, jika tidak ada maksud sombong, maka tidak mengapa (selama tidak menyerupai wanita), jika demikian maka itu berbuatan keji.” (Imam Al Bahuti, Kasysyaf Al Qina’,  2/ 304.  Mawqi’ Al Islam. Juga Imam Ar Rahibani, Mathalib Ulin Nuha, 2/363. Mawqi’ Al Islam Lihat juga Imam Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah, Hal. 361. Cet. 1, 1998M-1428H. Darul ‘Ashimah, Riyadh. KSA. )

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Masih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah:

وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ رَحِمَهُ اللَّهُ عَدَمَ تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِكَرَاهَةٍ وَلَا عَدَمِهَا

             “Syaikh Taqiyyuddin Rahimahullah (maksudnya Ibnu Taimiyah) memilih untuk tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai perbuatan makruh, dan tidak pula mengingkarinya.” 

Beliau berkata dalam kitab Syarhul ‘Umdah:

فأما أن كان على غير وجه الخيلاء بل كان على علة أو حاجة أو لم يقصد الخيلاء والتزين بطول الثوب ولا غير ذلك فعنه أنه لا بأس به وهو اختيار القاضي وغيره

             Ada pun jika memakainya tidak dengan cara sombong, tetapi karena ada sebab atau hajat (kebutuhan), atau tidak bermaksud sombong dan menghias dengan cara memanjangkan pakaian, dan tidak pula selain itu, maka itu tidak apa-apa. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Al Qadhi dan selainnya. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah, Hal. 361)

Imam Syarfuddin Musa Al Hijawi Rahimahullah

             Beliau ulama bermadzhab Hambali, berkata dalam kitab  Al Iqna’:

فَإِنْ أَسْبَلَ ثَوْبَهُ لِحَاجَةٍ كَسَتْرِ سَاقٍ قَبِيحٍ مِنْ غَيْرِ خُيَلَاءَ أُبِيحَ

             “Maka, sesungguhnya menjulurkan pakaian karena ada kebutuhan seperti menutupi betis yang buruk, tanpa adanya sombong, maka itu mubah (boleh).” (Al Iqna’ fi Fiqh Al Imam Ahmad bin Hambal, 1/91. Darul Ma’rifah, Beirut, Libanon)

Imam Abul Hasan Al Maliki Rahimahullah

             Beliau ulama bermadzhab Maliki, penyusun kitab Kifayatuth Thaalib. Berkata Imam Ali bin Ahmad Ash Sha’idi Al ‘Adawi Rahimahullah dalam Hasyiyah-nya terhadap Kifayatuth Thalib:

ثُمَّ أَقُولُ : وَعِبَارَةُ الْمُصَنِّفِ تَقْتَضِي أَنَّهُ يَجُوزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَجُرَّ ثَوْبَهُ أَوْ إزَارَهُ إذَا لَمْ يَقْصِدْ بِذَلِكَ كِبْرًا أَوْ عُجْبًا

             Kemudian saya katakan: perkataan Al Mushannif (penyusun kitab Kifayatutj Thalib, pen) menunjukkan kebolehan bagi laki-laki menjulurkan pakaiannya atau kain sarungnya jika dia tidak bermaksud sombong atau ‘ujub. (Hasyiyah Al ‘Adawi, 8/111. Mawqi’ Al Islam)

SEMOGA BERMANFAAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar